PROBLEMATIKA ETIKA BISNIS YANG TERJADI DI INDONESIA
Pengertian Etika
Kata “Etika” berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang memiliki arti adat
istiadat. Dalam kehidupan sehari-hari, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup
yang baik yaitu baik dalam diri seseorang maupun pada suatu masyarakat. Etika
juga berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan kehidupan
yang baik dan segala kebiasaan yang dimiliki ataupun diwariskan dari satu orang
ke orang lain ataupun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Pengertian Etika Bisnis
Etika dalam dunia bisnis atau yang biasa disebut etika bisnis adalah suatu cara
dalam melakukan sebuah kegiatan bisnis yang meliputi keseluruhan aspek yang
berkaitan dengan individu, perusahaan, dan masyarakat. Etika bisnis dalam suatu
perusahaan dapat membentuk suatu nilai, norma, dan perilaku, baik itu pimpinan
maupun karyawan dalam membangun suatu hubungan kerja yang adil dan sehat dengan
para pelanggan, pemegang saham, dan masyarakat. Etika bisnis dapat menjadi
standar atau pedoman untuk melaksanakan seluruh pekerjaan sehari-hari dengan
dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan, dan sikap professional dari
pemimpin maupun karyawan.
Adapun pendekatan-pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis
yang terbagi dalam tiga pendekatan yaitu:
1.
Utilitarian Approach: Setiap tindakan yang dilakukan harus didasarkan pada
konsekuensinya. Maka itu, apabila seseorang bertindak seharusnya mengikuti
aturan-aturan yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat
yaitu dengan cara tidak membahayakan siapapun dan dengan biaya yang
serendah-rendahnya.
2.
Individual Rights Approach: Setiap tindakan seseorang memiliki hak dasar yang
harus dihormati. Namun apabila tindakan tersebut dapat merugikan hak orang lain
maka harus dihindari.
3.
Justice Approach: Dalam membuat keputusan, para pembuat keputusan memiliki
kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan terhadap
pelanggan baik secara individu maupun kelompok.
TPK
Koja adalah sebuah terminal petikemas yang berada di kawasan tanjung priok,
Jakarta Utara. Terminal ini dibangun dan dikelola oleh PT. Pelabuhan Indonesia
II (PELINDO II) dan PT Humpuss Terminal Petikemas (HTP). Perjanjian kerjasama
pembangunan dan pengelolaan dua perusahaan tersebut dituangkan dalam Perjanjian
No. HK 566/6/4/PI.II-94 dan 001/HTP-PI.II/VIII/1994. Kemudian perjanjian
kerjasama tersebut diamandemen menjadi Addendum Perjanjian No. HK
566/2/12/PI.II-99 dan 0012/HTP.PI.II/ADD/III/99. TPK Koja meliputi panjang
dermaga sebesar 650 M, lapangan penumpukan petikemas (container yard) utilitas
dan jalan lingkungan seluas 30,6 Ha, 6 unit container crane, 21 unit
transtainer (RTG), 40 head truk dan 50 chasis.
Krisis
ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 yang disusul dengan tumbangnya rezim orde
baru pada tahun 2000 mengakibatkan PT. HTP menjual sahamnya sebesar 100% kepada
Ocean Deep Investment Holding Ltd. sebanyak 59,6% dan Ocean East Investment
Holding Ltd. sebanyak 40,4%. PT. HTP sempat beberapa kali berubah nama
yaitu PT. Ocean Terminal Petikemas (OTP) dan kemudian menjadi PT. Hutchison
Port Indonesia (HPI). PT. HPI merupakan anak perusahaan Hutchison Port Holding
yang berpusat di Hongkong. Hingga saat ini TPK Koja telah beroperasi lebih dari
10 tahun dengan troughput tertinggi dicapai pada tahun 2008 lalu yaitu sekitar
706.000 TEUs dengan keuntungan bersih hampir Rp 500.000.000.000. Dengan adanya
kesepakatan pembagian keuntungan 52,12% untuk PT. PELINDO II dan 47,88 untuk
PT. HPI, TPK Koja merupakan entitas bisnis yang menguntungkan dan menjanjikan.
Namun
dibalik keuntungan yang dinikmati oleh kedua pemilik tersebut, TPK Koja
menyimpan 2 permasalahan besar yaitu:
1.
Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan
Menurut pasal 64 UU No. 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dinyatakan bahwa penyerahan pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya hanya bisa melalui 2 metode yaitu:
perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja atau buruh.
Dalam pasal 65 dinyatakan pula bahwa pekerjaan yang diserahkan pengelolaannya
tersebut tidak boleh kegiatan pokok dan perusahaan pengelolanya harus berbadan
hukum. Pelanggaran
hukum KSO TPK Koja dari sisi
ketenagakerjaan yaitu:
a.
Karyawan yang dipekerjakan oleh KSO TPK Koja dalam melakukan kegiatan pokok
pelabuhan bukan merupakan karyawan tetap perusahaan induknya (PT PELINDO II
ataupun PT HPI).
b.
KSO TPK Koja bukan perusahaan yang berdiri sendiri, bukan perusahaan
outsourcing, dan bukan perusahaan berbadan hukum tetap tetapi mempunyai
karyawan tetap.
2.
Permasalahan Hukum Korporasi
Adapun permasalahan hukum korporasi
TPK Koja dalam pelaksanaannya kegiatannya yaitu:
a.
Status kepemilikan 100% saham asing setelah pengambilalihan PT. HTP oleh PT.
HPI. Hal ini menyalahi UU PMA No. 1 tahun 1967; PP No. 83 tahun 2001 dan
Keppres 118 tahun 2000 dimana diatur untuk jasa kepelabuhanan, PMA hanya boleh
mengusai saham maksimal 95%. Bahkan menurut UU PMA yang baru No. 25 tahun
2007 jo. PP No 77 tahun 2007 menetapkan PMA hanya boleh mengusai maksimal saham
45% untuk jasa kepelabuhanan. Berdasarkan hal tersebut keberadaan PT HPI di
Indonesia telah menyalahi hukum yang berlaku.
b.
Status perjanjian kerjasama Operasi akibat pengambilalihan PT. HTP oleh PT.
HPI. Hingga detik ini belum ada sebuah dokumen pun yang menyatakan bahwa PT.
PELINDO II mempunyai hubungan kontraktual pengelolaan terminal petikemas dengan
PT. HPI. Padahal sejak dilakukan penjualan saham dari PT. HTP kepada PT. HPI
telah dilakukan transaksi dan korespondensi antara PT. PELINDO II dan PT. HPI.
Hal ini terjadi karena belum diubahnya salah satu subyek dalam perjanjian induk
kerjasama sehingga sampai saat ini yang tercantum masih PT. Pelindo II dan PT.
HTP. Akibatnya pelaksanaan kerjasama saat ini cacat hukum dan menyebabkan
ketidak-absahan seluruh hubungan kontraktual pengelolaan TPK Koja.
c.
Perubahan Nomenklatur Jabatan Manajemen KSO TPK Koja. Berdasarkan perjanjian
induk kerjasama operasi, manajemen KSO dikepalai oleh General Manager yang
membawahi 4 deputi GM. Akan tetapi mulai 1 Februari 2007 General Manager dan
deputi GM diubah menjadi Direktur Utama dan 5 Direktur. Perubahan ini tidak
dapat dibenarkan secara hukum, karena TPK Koja hanya sebuah badan bentukan dari
kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai persekutuan perdata biasa yang tidak
tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Apalagi setelah perubahan ini para pemangku
jabatan kemudian menganalogikan dirinya seperti para direksi perusahaan
perseroan terbatas di lingkungan BUMN dimana mereka berhak atas gaji besar dan
berbagai benefit seperti mobil mewah, kompensasi sewa rumah, uang pengganti
BBM, asuransi jabatan, dan tantiem yang diistilahkan dengan penghargaan atau
insentif manajemen. Secara keseluruhan masing-masing direksi TPK Koja dalam
satu tahunnya bisa berpenghasilan hampir Rp 1.000.000.000. Hal ini
harus ditinjau ulang mengingat perubahan nomenklatur tersebut diindikasikan
hanya untuk menguntungkan para pemangku jabatan termasuk beberapa direksi PT.
PELINDO II dalam posisinya sebagai Dewan Pengawas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar