Jumat, 22 Januari 2016

PROBLEMATIKA ETIKA BISNIS YANG TERJADI DI INDONESIA



PROBLEMATIKA ETIKA BISNIS YANG TERJADI DI INDONESIA

                             


Pengertian Etika
  Kata “Etika” berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang memiliki arti adat istiadat. Dalam kehidupan sehari-hari, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik yaitu baik dalam diri seseorang maupun pada suatu masyarakat. Etika juga berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan kehidupan yang baik dan segala kebiasaan yang dimiliki ataupun diwariskan dari satu orang ke orang lain ataupun dari satu generasi ke generasi lainnya.

Pengertian Etika Bisnis
            Etika dalam dunia bisnis atau yang biasa disebut etika bisnis adalah suatu cara dalam melakukan sebuah kegiatan bisnis yang meliputi keseluruhan aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, dan masyarakat. Etika bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk suatu nilai, norma, dan perilaku, baik itu pimpinan maupun karyawan dalam membangun suatu hubungan kerja yang adil dan sehat dengan para pelanggan, pemegang saham, dan masyarakat. Etika bisnis dapat menjadi standar atau pedoman untuk melaksanakan seluruh pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan, dan sikap professional dari pemimpin maupun karyawan.
            Adapun pendekatan-pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis yang terbagi dalam tiga pendekatan yaitu:
1. Utilitarian Approach: Setiap tindakan yang dilakukan harus didasarkan pada konsekuensinya. Maka itu, apabila seseorang bertindak seharusnya mengikuti aturan-aturan yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat yaitu dengan cara tidak membahayakan siapapun dan dengan biaya yang serendah-rendahnya.
2. Individual Rights Approach: Setiap tindakan seseorang memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun apabila tindakan tersebut dapat merugikan hak orang lain maka harus dihindari.
3. Justice Approach: Dalam membuat keputusan, para pembuat keputusan memiliki kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan terhadap pelanggan baik secara individu maupun kelompok.




















TPK Koja adalah sebuah terminal petikemas yang berada di kawasan tanjung priok, Jakarta Utara. Terminal ini dibangun dan dikelola oleh PT. Pelabuhan Indonesia II (PELINDO II) dan PT Humpuss Terminal Petikemas (HTP). Perjanjian kerjasama pembangunan dan pengelolaan dua perusahaan tersebut dituangkan dalam Perjanjian No. HK 566/6/4/PI.II-94 dan 001/HTP-PI.II/VIII/1994. Kemudian perjanjian kerjasama tersebut diamandemen menjadi Addendum Perjanjian No. HK 566/2/12/PI.II-99 dan 0012/HTP.PI.II/ADD/III/99. TPK Koja meliputi panjang dermaga sebesar 650 M, lapangan penumpukan petikemas (container yard) utilitas dan jalan lingkungan seluas 30,6 Ha, 6 unit container crane, 21 unit transtainer (RTG), 40 head truk dan 50 chasis.
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 yang disusul dengan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 2000 mengakibatkan PT. HTP menjual sahamnya sebesar 100% kepada Ocean Deep Investment Holding Ltd. sebanyak 59,6% dan Ocean East Investment Holding Ltd. sebanyak 40,4%.  PT. HTP sempat beberapa kali berubah nama yaitu PT. Ocean Terminal Petikemas (OTP) dan kemudian menjadi PT. Hutchison Port Indonesia (HPI). PT. HPI merupakan anak perusahaan Hutchison Port Holding yang berpusat di Hongkong. Hingga saat ini TPK Koja telah beroperasi lebih dari 10 tahun dengan troughput tertinggi dicapai pada tahun 2008 lalu yaitu sekitar 706.000 TEUs dengan keuntungan bersih hampir Rp 500.000.000.000. Dengan adanya kesepakatan pembagian keuntungan 52,12% untuk PT. PELINDO II dan 47,88 untuk PT. HPI, TPK Koja merupakan entitas bisnis yang menguntungkan dan menjanjikan.
Namun dibalik keuntungan yang dinikmati oleh kedua pemilik tersebut, TPK Koja menyimpan 2 permasalahan besar yaitu:
1. Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan
Menurut  pasal 64 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dinyatakan bahwa penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya hanya bisa melalui 2 metode yaitu: perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja atau buruh. Dalam pasal 65 dinyatakan pula bahwa pekerjaan yang diserahkan pengelolaannya tersebut tidak boleh kegiatan pokok dan perusahaan pengelolanya harus berbadan hukum. Pelanggaran
hukum KSO TPK Koja dari sisi ketenagakerjaan yaitu:
a. Karyawan yang dipekerjakan oleh KSO TPK Koja dalam melakukan kegiatan pokok pelabuhan bukan merupakan karyawan tetap perusahaan induknya (PT PELINDO II ataupun PT HPI).

b. KSO TPK Koja bukan perusahaan yang berdiri sendiri, bukan perusahaan outsourcing, dan bukan perusahaan berbadan hukum  tetap tetapi mempunyai karyawan tetap.










2. Permasalahan Hukum Korporasi
Adapun permasalahan hukum korporasi TPK Koja dalam pelaksanaannya kegiatannya yaitu:
a. Status kepemilikan 100% saham asing setelah pengambilalihan PT. HTP oleh PT. HPI. Hal ini menyalahi UU PMA No. 1 tahun 1967; PP No. 83 tahun 2001 dan Keppres 118 tahun 2000 dimana diatur untuk jasa kepelabuhanan, PMA hanya boleh mengusai saham maksimal 95%. Bahkan menurut UU PMA yang baru No. 25 tahun 2007 jo. PP No 77 tahun 2007 menetapkan PMA hanya boleh mengusai maksimal saham 45% untuk jasa kepelabuhanan. Berdasarkan hal tersebut keberadaan PT HPI di Indonesia telah menyalahi hukum yang berlaku.

b. Status perjanjian kerjasama Operasi akibat pengambilalihan PT. HTP oleh PT. HPI. Hingga detik ini belum ada sebuah dokumen pun yang menyatakan bahwa PT. PELINDO II mempunyai hubungan kontraktual pengelolaan terminal petikemas dengan PT. HPI. Padahal sejak dilakukan penjualan saham dari PT. HTP kepada PT. HPI telah dilakukan transaksi dan korespondensi antara PT. PELINDO II dan PT. HPI. Hal ini terjadi karena belum diubahnya salah satu subyek dalam perjanjian induk kerjasama sehingga sampai saat ini yang tercantum masih PT. Pelindo II dan PT. HTP. Akibatnya pelaksanaan kerjasama saat ini cacat hukum dan menyebabkan ketidak-absahan seluruh hubungan kontraktual pengelolaan TPK Koja.

c. Perubahan Nomenklatur Jabatan Manajemen KSO TPK Koja. Berdasarkan perjanjian induk kerjasama operasi, manajemen KSO dikepalai oleh General Manager yang membawahi 4 deputi GM. Akan tetapi mulai 1 Februari 2007 General Manager dan deputi GM diubah menjadi Direktur Utama dan 5 Direktur. Perubahan ini tidak dapat dibenarkan secara hukum, karena TPK Koja hanya sebuah badan bentukan dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai persekutuan perdata biasa yang tidak tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Apalagi setelah perubahan ini para pemangku jabatan kemudian menganalogikan dirinya seperti para direksi perusahaan perseroan terbatas di lingkungan BUMN dimana mereka berhak atas gaji besar dan berbagai benefit seperti mobil mewah, kompensasi sewa rumah, uang pengganti BBM, asuransi jabatan, dan tantiem yang diistilahkan dengan penghargaan atau insentif manajemen. Secara keseluruhan masing-masing direksi TPK Koja dalam satu tahunnya bisa berpenghasilan hampir  Rp 1.000.000.000. Hal ini harus ditinjau ulang mengingat perubahan nomenklatur tersebut diindikasikan hanya untuk menguntungkan para pemangku jabatan termasuk beberapa direksi PT. PELINDO II dalam posisinya sebagai Dewan Pengawas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar